Rabu, 16 April 2008

KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN

KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN

BAB I

A.Pendahuluan

a. Latar Belakang

Dalam era otonomi daerah sesuai dengan ketentuan dalam UU No 22 Tentang Pemerintahan Daerah, maka kewenangan daerah akan sedemikian kuat dan luas sehingga diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang ketat untuk menghindari ketidakteraturan dalam menyusun kebijakan dalam bidang lingkungan hidup terutama dalam masalah penanganan penegakan hukum lingkungan dalam era otonomi daerah.

Kewenangan pemerintah Daerah menurut UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sangatlah besar sehingga tuntutan untuk meningkatkan kinerja dan penerapan kebijakan dalam bidang lingkungan hidup sangatlah dibutuhkan.

Sistem Pemerintahan Daerah otonom sebelum UU No 22 tahun 1999 terbagi dalam Sistem Pemerintahan Administratif dan Otonomi[1], dalam Sistem Pemerintahan Administratif Pemerintah Daerah berperan sebagai pembantu dari penyelenggaraan pemerintah pusat yang dikenal sebagai azas dekosentrasi dalam UU No 54 tahun 1970 tentang Pemerintah Daerah, hal ini diaplikasikan dalam Pemerintahan Daerah Tingkat I dan Pemerintahan Daerah tingkat II.

Sedangkan dalam Sistem Pemerintahan Otonomi Pemerintahan Daerah adalah mandiri dalam menjalankan urusan rumah tanganya. Pemerintahan Daerah memerlukan alat-alat perlengkapannya sendiri sebagai pegawai/pejabat –pejabat daerah dan bukan pegawai/pejabat pusat. Memberikan wewenang untuk menyelenggarakan rumah tangga sendiri berarti pula membiarkan bagi daerah untuk berinisiatif sendiri dan untuk merealisir itu, daerah memerlukan sumber keuangan sendiri dan pendapatan-pendapatan yang diperoleh dari sumber keuangan sendiri memerlukan pengaturan yang tegas agar di kemudian hari tidak terjadi perselisihan antara pusat dan daerah mengenai hal –hal tersebut diatas.[2]

Tetapi dalam UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka terjadi perubahan besar dalam kewenangan Pemerintahan Daerah.

Pengelolaan lingkungan hidup sangatlah penting untuk dilihat dalam era otonomi daerah sekarang ini karena lingkungan hidup sudah menjadi isu internasional yang mempengaruhi perekonomian suatu negara.

Pemerintahan Daerah diberikan kekuasaan yang sangat besar dalam mengelola daerahnya terutama sekali Pemerintahan Kota atau Kabupaten.

Dalam makalah ini akan dibahas masalah lingkungan hidup di era otonomi daerah dan bagaimana Kewenangan daerah terhadap lingkungan hidup juga akibat kewenangan yang besar tersebut.

b.Pokok Permasalahan

1. Bagaimana Kewenangan Pemerintah Daerah dijalankan dalam bidang lingkungan hidup?

2. Dampak dari Kewenangan tersebut terhadap lingkungan hidup?

c.Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah yang berjudul Kewenangan Pemerintah Pusat dan daerah dalam pengelolaan lingkungan, adalah “memberikan penjelasan tentang kewenangan Pemerintah Pusat dan daerah serta dampaknya di bidang lingkungan hidup”

Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah memberikan masukan dan informasi yang jelas kepada mahasiswa dan pelajar tentang bagaimana kewenangan dan dampak dari kewenangan yang dijalankan oleh Pemerintahan Daerah di bidang Lingkungan Hidup.

BAB II

B. Pembahasan

1. Pemerintah Kewenangan Pusat dan daerah dalam UU No 22 tahun 1999.

Dalam bidang lingkungan hidup kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah sangat menentukan akan tetapi dengan adanya UU No 22 tentang Otonomi daerah maka kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menjadi terbagi dua hal ini dapat dicermati dalam pasal 7 UU NO 22 tahun 1999, yaitu:

(1) Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintah, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat(1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.[3]

Dalam UU nomor 22 tahun 1999 memperlihatkan kewenangan pemetrintah pusat yang ingin dibagi kepada daerah akan tetapi jika dilihat dari pasal 7 ayat 2 sangat terlihat pembatasan kewenangan pemerintahan daerah, sebenarnya pasal 7 ayat 2 harus diperjelas lagi apa yang dimaksud dengan kewenangan bidang lain yang diatur oleh UU No 22 tahun 1999. Kalau dilihat dari ayat 2 maka akan terlihat kewenangan pemerintah pusat yang masih besar.

2. Penjelasan Kewenangan dalam Sistem Pemerintahan setelah UU No 22 tahun 1999

Untuk mengantisipasi berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tim kerja Menko Wasbangpan dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Bapedal telah mencoba merumuskan interpretasi kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.

Secara umum, kewenangan pengelolaan lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi :

· Kewenangan Pusat

· Kewenangan Propinsi

· Kewenangan Kabupaten/Kota.

Kewenangan Pusat terdiri dari kebijakan tentang :

· Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro;

· Dana perimbangan keuangan seperti menetapkan dan alokasi khusus untuk mengelola lingkungan hidup;

· Sistem administrasi negara seperti menetapkan sistem informasi dan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;

· Lembaga perekonomian negara seperti menetapkan kebijakan usaha di bidang lingkungan hidup;

· Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia;

· Teknologi tinggi strategi seperti menetapkan kebijakan dalam pemanfaatan teknologi strategi tinggi yang menimbulkan dampak;

· Konservasi seperti menetapkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup kawasan konservasi antar propinsi dan antar negara;

· Standarisasi nasional;

· Pelaksanaan kewenangan tertentu seperti pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam lintas batas propinsi dan negara, rekomendasi laboratorium lingkungan dsb.

Kewenangan Propinsi terdiri dari :

· Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota;

· Kewenangan dalam bidang tertentu, seperti perencanaan pengendalian pembangunan regional secara makro, penentuan baku mutu lingkungan propinsi, yang harus sama atau lebih ketat dari baku mutu lingkungan nasional, menetapkan pedoman teknis untuk menjamin keseimbangan lingkungan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang propinsi dan sebagainya.

· Kewenangan dekonsentrasi seperti pembinaan AMDAL untuk usaha atau dan kegiatan di luar kewenangan pusat.

Kewenangan Kabupaten/Kota terdiri dari :

· Perencanaan pengelolaan lingkungan hidup;

· Pengendalian pengelolaan lingkungan hidup;

· Pemantauan dan evaluasi kualitas lingkungan;

· Konservasi seperti pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung dan konservasi, rehabilitasi lahan dsb.

· Penegakan hukum lingkungan hidup

· Pengembangan SDM pengelolaan lingkungan hidup.[4]

3. Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Pusat dan daerah dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidup.

Pemerintah Pusat dalam melakukan kewenangannya di bidang pengelolaan lingkungan hidup harus mengikuti kebijakan yang telah diterapkan oleh Menko Wasbangpan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jangan sampai pengurangan kewenangan pemerintah Pusat di bidang lingkungan hidup tidak bisa mencegah kesalahan pengelolaan lingkungan hidup demi mengejar Pemasukan APBD khususnya dalam pos Pendapatan Asli Daerah.

Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Sonny Keraf, bahwa desentralisasi adalah mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemda dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif. Dalam penerapan desentralisasi itu, menurut Sonny harus tercakup pula pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga dan lestari. Dengan demikian, kendati desentralisasi ala Indonesia tersebut pada awalnya merupakan reaksi politik untuk mempertahankan stabilitas dan integritas teritorial, namun paradigma otonomi demi kesejahteraan masyarakat lokal tetap bisa diwujudkan tanpa merusak kualitas lingkungan hidup setempat.[5]

Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah sekarang adalah Pemerintahan daerah harus meningkatkan Pendapatan Asli Daerah mereka untuk memenuhi target APBD (Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) sehingga jalan termudah untuk memenuhi itu semua adalah mengeksploitasi kembali lingkungan hidup karena cara tersebut adalah cara yang biasa dilakukan pemerintah pusat untuk memenuhi APBN, dan cara ini akan terus dilakukan oleh Pemerintah daerah dengan baik.

Sehingga jika waktu yang lalu pemusatan eksploitasi lingkungan hidup hanya di daerah-daerah tertentu seperti Daerah Istimewa Aceh, Riau, Irian Jaya/ Papua, Kalimantan dan sebagian Proponsi di Pulau Jawa maka sekarang semua Pemerintah daerah di Indonesia akan mengekspoitasi lingkungan hidup sebesar-besarnya untuk memenuhi target APBD untuk daerah-daerah yang mempunyai sumber kekayaan lingkungan hidup yang besar, sehingga akan dapat terbayang semua daerah kota dan kabupaten di Indonesia akan melakukan eksploitasi lingkungan hidup secara besar-besaran.

Karena desentralisasi dalam UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dipunyai oleh daerah kota dan kabupaten.

Permasalahan yang timbul adalah antisipasi dari pemerintah pusat sebagai pemegan kewenangan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Karena seperti kita ketahui kewenangan Pemerintah Pusat adalah:

· Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro;

· Dana perimbangan keuangan seperti menetapkan dan alokasi khusus untuk mengelola lingkungan hidup;

· Sistem administrasi negara seperti menetapkan sistem informasi dan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;

· Lembaga perekonomian negara seperti menetapkan kebijakan usaha di bidang lingkungan hidup;

· Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia;

· Teknologi tinggi strategi seperti menetapkan kebijakan dalam pemanfaatan teknologi strategi tinggi yang menimbulkan dampak;

· Konservasi seperti menetapkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup kawasan konservasi antar propinsi dan antar negara;

· Standarisasi nasional;

· Pelak sanaan kewenangan tertentu seperti pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam lintas batas propinsi dan negara, rekomendasi laboratorium lingkungan dsb.

Seperti dijelaskan diatas maka kewenangan pemerintah pusat dalam melaksanakan otonomi daerah sangatlah penting dalam lingkungan hidup. Sehingga jika terjadi berbagai permaslahan yang timbul pemerintahan pusat harus menanganinya secara baik karena pemrintah pusat masih mempunyai kewenangan untuk mengadakan berbagi evaluasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah dapat menjalankan kewenanganya secara proporsional dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup.

BAB III

ANALISA

Kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan tidak bisa dijadikan suatu kesempatan untuk mengeksploitasi lingkungan sehingga lingkungan menjadi rusak dan tidak bisa dipergunakan lagi bagi kelangsungan bangsa ini dan hal ini dilakukan hanya untuk mengejar Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Daerah sehingga hanya untuk hal yang jangka pendek investasi jangka panjang dikuras habis.

Jika dilihat Kewenangan Pemerintah Pusat juga besar dalam hal ini sehingga perlu diberdayakan peran pemerintah dalam pengelolaan lingkungan dan juga fungsi dari pemerintah sebagai suatu instansi pengawas jika terjadi pengelolaan lingkungan yang tidak baik pad pemerintah daerah. Dalam hal ini perlu dikaji kembali berbagai kebijakan yang ada pada pemerintah Daerah sehingga tidak ada kebijkan-kebijakan yang berupa peraturan daerah yang merugikan lingkungan dan tidak memperhatikan keadaan masyarakat.

Oppenheim mengatkan dalam Nederlands Gemeenterecht bahwa:

“ Kebebasan bagian-bagin Negara sama sekali tidak boleh berakhir dengan kehancuran hubungan negara. Di dalam pengawasan tertinggi letaknya jaminan, bahwa selalu terdapat keserasian anatara pelaksanaan bebas dari tugas Pemerintah Daerah dan kebebasan pelaksanaan tugas Tugas Negara oleh Penguasa negara itu.[6]

Van Kempen juga menulis dalam “Inleiding tot het Nederlandsch Indisch Gemeenterecht” bahwa otonomi mempunyai arti lain daripada kedaulatan( souvereniteit), yang merupakan atribut dari negara, akan tetapi tidak pernah merupakan atribut dari bagian- bagiannya seperti Gemeente, Provincie dan sebagainya, yang hanya dapat memiliki hak-hak yang berasal dari negara, bagaian-bagaian mana justru sebagai bagian-bagian dapat berdiri sendiri( zelfstandig) akan tetapi tidak mungkin dapat dianggap merdeka( onafhnjelijk), lepas dari, ataupun sejajar dengan negara.[7]

Dapatlah ditambahkan, bahwa pengawasan itu dimaksudkan pula agar daerah selalu melakukan kebijkannya dengan sebaik-baiknya sehingga produk kebijakan berupa peraturan daerah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya.

Hal ini juga memerlukan peran penting dan koordinasi yang baik antara Meteri NegaraLingkungan Hidup denga aparat Pemerintahan Daerah sehinggdapat terjalinnya kerjasama yang baik antara pusat dan daerah dalam pengelolaan lingkungan.

Pengawasan oleh Pemerintah Pusat dapat dibenarkan untuk membangun negara Indonesia karena Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap penyelenggaraan Pemerintah Negara dan Daerah.

Pengawasan terhadap segala tindakan Pemerintah Daerah termasuk juga Keputusan-keputusan Kepala Daerah terutama Peraturan-peraturan Daerah yang ada dapat diawasi, jika menilik sifatnya bentuk pengawasan bisa dibagi dalam:

1. Pengawasan preventif

2. Pengawasan represif

3. Pengawasan umum

Dan pemerintah Pusat juga harus diawasi oleh lembaga negara yang lain terutama lembaga perwakilan yang fungsinya berupa pengawasan, karena Pemrintah Pusat juga mempunyai kebijakan yang menyangkut pengelolaan lingkungan.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengelolaan lingkungan sangatlah besar sehingga perlu adanya pembatasan yang jelas dalam pengelolaan lingkungan tersebut.

Dan dalam melaksanakan hal tersebut telah diatur beberapa batasan yang jelas dalam Keputusan Bersama Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menko Wasbangpan.

Yang perlu dicermati adalah kewenangan Pemerintah Daerah yang sangat besar sehingga perlu adanya bentuk pengawasan yang baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sehingga janagn sampai terjadi berbagai kebijakan yang merusak lingkungan yang terjadi di setiap kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Pemerintah Pusat harus aktif dalam melakukan pengawasan sehingga pembangunan yang berwawasan lingkungan dapat dijalankan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah



[1] M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI dan CV Sinar Bakti , 1988,h.256

[2] op.cit, h. 257

[3] UU NO 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

[4] http://www.bapedal.go.id/media/serasi/00okt/lu1.html

[5] op.cit, h2

[6] Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1983

[7] op.cit, h. 10

Rabu, 02 April 2008

Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Ambivalen

Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Ambivalen

Belum sempat kita istirahat dari terkaget-kaget dengan adanya pertimbangan Mahkamah Konstitusi tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang secara garis besar melarang asas retroaktif dalam UU tentang KPK yang sebenarnya tidak perlu dimasukkan dalam pertimbangan karena tidak diminta oleh Pemohon, ditambah lagi dengan adanya UU PEMDA yang ditinjau dari putusan ambivalen maka kitapun akan lebih terkejut lagi tentang putusan MK mengenai Kamar Dagang dan Industri yang secara mengejutkan dengan kasus ini MK menjudicial review UU tentang MK sendiri sehingga MK menyatakan bahwa pasal 50 tentang kewenangan MK bertentangan dengan UUD.

Mahkamah Konstitusi yang didirikan pada tanggal 13 Agustus 2003[1] yang berdiri atas dasar pasal 7B, pasal 24 ayat (1) dan pasal 24 ayat (2) UUD 1945 perubahan ketiga, telah melahirkan pelbagai putusan yang diantaranya menyangkut : 1. Pengujian undang-undang terhadap UUD, 2. sengketa lembaga negara, 3. Pembubaran partai politik, 4. Perselisihan hasil Pemilu dan sebuah kewajiban memutus pendapat DPR dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wapres

MK pada awal mulanya sangat konsisten untuk menjalankan kewenangannya dengan dasar prospective (bersifat kedepan) dan bukan retroactive (bersifat kebelakang), sehingga kalau dikaitkan dengan kewenangan ini maka secara tidak konsisten MK menerapkan asas non retroaktive. Seharusnya jika MK konsisten maka MK tidak bisa menjudicial review pasal 50 UU Nomor 24 tahun 2003. Ada beberapa putusan yang dapat kita ambil kesimpulan tentang ketidakpastian pendirian Mahkamah Konstitusi

Dapat kita telaah dari putusan MK Nomor 069/PUU-II/2004 mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi[2], secara mengejutkan MK menambahkan dalam pertimbangan hukumnya tentang asas retroaktive padahal hal tersebut tidak diminta dalam gugatan, dan hal ini menimbullkan pro kontra yang meluas dari pelbagai kalangan, dengan alasan inipula banyak pengacara-pengacara kasus korupsi menyatakan berbagai dakwaan korupsi yang disidang tidak bisa dilanjutkan karena UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK hanya berlaku semenjak diundangkan sehingga kasus-kasus sebelum itu tidak bisa diajukan ke pengadilan.

Sedangkan dari kasus pilkada sangat terlihat sekali putusan MK yang ambivalen, dengan menyatakan bahwa Pilkada tidak termasuk pemilu dalam pasal 22E akan tetapi termasuk kedalam pasal 18 UUD 1945, walaupun ada sebagian tentang bentuk peratanggungjawaban yang menjadikan KPUD menjadi lembaga independen, sedangkan di dalam pertimbangan hukumnya MK berharap nantinya penyelenggara pemilu adalah KPU, pertimbangan ini membuat MK seakan-akan hendak menyatakan bahwa yang gugatan dari KPUD dan 5 LSM pemantau adalah benar akan tetapi dapat diwujudkan nanti. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang independen atau tidaknya Mahkamah Konstitusi dalam membuat putusan ataukah ada hal-hal lain yang membuat keindependen ini bergeser.

Dan yang peling mengejutkan ketika MK dengan adanya kasus gugatan dari KADIN UKM yang mengajukan judicial review mengenai UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan pasal UU No 1 tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri. Dan dengan gugatan tersebut MK memperluas kewenangannya (meminjam istilah dari Albert Hasibuan) menjadi sangat luas. Pasal 50 UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi membatasi kewenangan judicial review MK “Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, jadi MK hanya boleh menjudicial review sesudah UU tentang MK diundangkan. Akibat dari penghapusan pasal 50 maka MK bisa menjudicial review seluruh UU yang dilahirkan sebelum perubahan UUD 1945.

Ada hal yang menarik tentang dissenting opinion dari Achmad Rustandi yang menyatakan secara etika maka MK tidak bisa menjudicial review UU tentang Mahakamah Konstitusi itu sendiri, Achmad Rustandi mengambil kesimpulan ini dengan memeperbandingkan dengan hakim dalam perkara umum, perdata/pidana yang secara norma persidangan harus mengundurkan diri jika kasus yang akan ditangani berkaitan atau berhubungan dengan dirinya, dan hal ini menurutnya sama sekali bukan berarti meragukan imparsialitas dan integritas pribadi para hakim, melainkan merupakan kepatutan yang telah diakui secara universal (Achmad Roestandi)[3]. Jadi menurut salah seorang hakim MK sendiri secara sadar telah melanggar norma persidangan dan ditambah dengan adanya pendapat Natabaya yang menyatakan dalam dissentingnya bahwa jika MK menerima permohonan judicial review ini maka MK berarti telah menanggalkan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar melalui pembentuk undang-undang (wetgever)[4].

Menurut Laica Marzuki MK jika menerima permnohonan ini maka berarti MK telah melucuti kewenangan formeel recht yang diberikan de wetgever(pembentuk undang-undang) pada dirinya. Padahal formeel recht dibuat guna menegakkan kaidah hukum materiil[5]. Dari 3 pendapat Hakim Konstitusi tersebut dapat kita ambil bahwa secara hukum MK telah melampaui kewenangannya dengan menghapus pasal 50 UU No 24 tahun 2003.

Mengutip dari Lord Acton yang seringkali dipakai untuk menggambarkan kekuasaan “ Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” maka gambaran MK pada saat ini adalah lembaga yang super yang bisa membatalkan pasal dalam UU pembetukannya sendiri. MK dengan putusannya telah mengambil kewenangan legislatif (legislative review) menjadi kewenangan MK, jika hal ini tidak ada yang mengontrolnya maka MK akan masuk dalam kategori lembaga yang dikatakan oleh Lord Acton, sehingga sangat berbahaya bagi MK dan bagi demokrasi itu sendiri, walaupun penulis percaya pribadi-pribadi dalam MK adalah pribadi mulia yang bercita-cita menegakkan hukum dinegara tercinta.

Tidak ada lembaga menurut UUD yang bisa mengontrol MK terkecuali MPR melalui UUD, sudah saatnya lembaga MPR berfikir secara konstruktif untuk membatasi kewenangan MK karena siapa tahu disuatu saat nanti MK tidak bisa menjaga kedemokratisannya dan kemuliannya. Karena secara logis MK pada saat ini adalah lembaga peradilan yang demokratis jika dilihat dari dissenting opinion dan birokrasi yang mudah. Viat Justicia Constitution!

Muhammad Mova Al Afghani lawyer at Lubis Ganie Surowidjojo

Rahmat Bagja, former researcher at PSHTN UI and now work at Widjojanto, Sonhadji & Associates



[1] Mahkamah Konstitusi, Menjaga Denyut Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta 2004

[3] dissenting opinion Achmad Roestandi, Putusan MK No 066/PUU-II/2004

[4] Natabaya, ibid

[5] Laica Marzuki, ibid

Kamis, 27 Maret 2008

Urgensi Amendemen UUD 1945 Sebelum Pemilu 2009

Belakangan ini setelah perombakan kabinet menyita perhatian, mencuat kembali permasalahan usulan amendemen UUD 1945. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengusulkan perlunya amendemen kembali UUD 1945, terutama menyangkut pasal-pasal yang berkaitan dengan kewenangannya (22D ayat 1, 2 dan 3).

Usul tersebut akhirnya diwujudkan dengan terkumpulnya 238 suara pada 8 Mei 2007, sehingga memenuhi jumlah suara minimal (kuorum) sebanyak 226 anggota MPR, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 37 UUD 1945. Anehnya, sehari setelah usul akan diajukan kepada MPR, Partai Demokrat menarik kembali dukungan suara 23 anggotanya. Dengan demikian usul amendemen yang sudah sekian lama diupayakan DPD mentah kembali.

Penarikan kembali dukungan suara Partai Demokrat secara substantif dapat mengubur kembali harapan dan peluang amendemen UUD 1945 yang sudah di depan mata. Penarikan itu jelas merugikan Partai Demokrat sendiri, mengingat Presiden Yudhoyono yang berasal dari Partai Demokrat sering kali dihadapkan pada persoalan-persoalan pemerintahan yang berawal dari ketidakjelasan UUD 1945. Tetapi, kabar terbaru dari wacana ini, DPD berhasil kembali mengumpulkan dukungan sehingga melebihi batas minimal untuk mengajukan usul amendemen UUD 1945.

Perkembangan-perkembangan mengenai wacana amendemen V UUD 1945 menunjukkan suatu tanda positif akan kepedulian terhadap perkembangan ketatanegaraan Indonesia, sehingga usul amendemen UUD 1945 merupakan sebuah "keniscayaan". Hal itu dikarenakan hasil empat kali amendemen UUD 1945 banyak kelemahan, yang menimbulkan persoalan-persoalan di dalam praktik pemerintahan. Persoalan-persoalan tersebut tidak cukup diselesaikan dengan cara pembuatan undang-undang, yang sampai sekarang masih dilakukan lembaga legislatif. Cara tersebut hanya bersifat tambal-sulam dan tidak menyelesaikan masalah, karena persoalan yang dipermasalahkan sangat mendasar, yang seharusnya diatur dalam suatu UUD. Melalui amendemen kembali UUD 1945 merupakan solusi terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan di dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan.

Akan tetapi amendemen kembali UUD 1945 tidak bisa dilakukan secara parsial. Jangan pula kita terjebak mengamendemen UUD tapi terbatas pada kewenangan DPD karena DPD yang mengusulkan. Amendemen ini harus dijadikan pintu masuk untuk membenahi UUD 1945 yang selama ini dirasakan kurang mampu menyelesaikan permasalahan ketatanegaraan. Amendemen tersebut harus dilakukan secara komprehensif menyangkut soal kejelasan posisi dan hubungan (checks and balances) kelembagaan negara yang terdapat pada Kejelasan Sistem Pemerintahan, Kekuasaan Legislatif, Kekuasaan Kehakiman.

Permasalahan di atas dapat kita simpulkan dari berbagai perkembangan ketatanegaraan yang ada setelah amendemen IV UUD 1945 juga kasus-kasus yang diajukan pada Mahkamah Konstitusi.

DPD yang menginginkan lembaganya diperkuat supaya lebih mempunyai daya tawar terhadap undang-undang yang berkaitan dengan daerah, yang mau tidak mau harus mengubah Pasal 5 dan 22D, solusi itu juga sesuai dengan hasil Komisi Konstitusi yang menginginkan sistem parlemen kita menjadi strong bicameralism. Permasalahan DPD akan berakibat pada lembaga MPR yang diatur pada Pasal 2 dan 3 UUD 1945, yang selama ini masih dipertahankan untuk dievaluasi keberadaannya, apakah diperlukan atau tidak lembaga ini menjadi lembaga parlemen ketiga setelah DPR atau DPD, ataukah hanya bersifat joint session antara lembaga DPR dan lembaga DPD.

Praktik selama ini yang kita lihat, fungsi dan wewenang lembaga MPR tidak bersifat rutin, sehingga tidak diperlukan lembaga permanen. Sistem pemerintahan kita yang presidensial dan diatur dalam Pasal 4-16 UUD 1945 seharusnya diperkuat untuk mengimbangi kewenangan-kewenangan pada legislatif, sehingga sistem presidensial kita berjalan sebagaimana mestinya.

Kekuasaan kehakiman yang sekarang tidak jelas aturan mekanisme checks and balancesnya harus juga diatur dalam UUD, karena setelah putusan MK pengawasan terhadap lembaga pemegang kekuasaan kehakiman menjadi tidak jelas. Komisi Yudisial akhirnya menjadi tumbal dari ketidakjelasan itu. Peran Komisi Yudisial secara nyata yang dapat dirasakan hanyalah pada saat pemilihan calon hakim agung dan tidak pada fungsi pengawasannya. Mnejadi tidak jelas siapa yang mengawasi hakim konstitusi, sehingga tidak tercapai mekanisme checks and balances yang dulu diharapkan.

Penguatan atau daya paksa putusan MK pun seharusnya diatur dalam UUD, karena bagaimana lembaga negara lain mau menghormati putusan MK kalau tidak jelas daya paksanya? Hal itu terlihat dari keengganan pemerintah menjalankan putusan MK mengenai Anggaran Pendidikan dalam UU APBN.

Jika ingin lebih maju dalam hal kontrol masyarakat terhadap lembaga negara adalah dengan memasukkan Constitutional Complaint (CC) dalam UUD, karena dengan memasukkan CC ke dalam UUD peraturan dan kebijakan yang dirasakan individu masyarakat bertentangan dengan UUD dapat diajukan ke MK.

Mengingat pentingnya amendemen UUD 1945, prosesnya harus dilakukan sebelum Pemilu 2009 melalui komisi/badan khusus yang dibentuk untuk itu. Karena, setelah Pemilu 2009 konfigurasi politik akan berubah. Walaupun mungkin masih tetap ada anggota DPD yang ingin melanjutkan perjuangan itu, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk tidak melanjutkannya. Kalaupun dilanjutkan, anggota DPR dan DPD terpilih akan tersita waktunya terlebih dahulu untuk beradaptasi dengan pekerjaan juga urusan-urusan internal lembaga mereka.

Dengan adanya komisi/badan khusus yang dibentuk diharapkan rumusan-rumusan UUD 1945 menjadi lebih komprehensif, karena akan dibahas ahli-ahli juga komponen masyarakat yang mengerti betul permasalahan dan solusi terhadap materi UUD 1945.

Bukankah naskah dan bahan perbaikan UUD 1945 telah dibuat Komisi Konstitusi sehingga sudah ada bahan dasar dalam melakukan amendemen?

Keuntungan lain dari pembentukan badan/komisi khusus adalah MPR tinggal membahas pada tahap final dan mengesahkannya dengan tidak mengganggu pekerjaannya sebagai anggota DPR dan DPD, yang sibuk mengerjakan dan membahas UU.

Rahmat Bagja, Kadiv Konstitusi Konsorsium Reformasi Hukum Nasional

Last modified: 25/5/07

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/05/27/Hukum/hk01.htm