Rabu, 02 April 2008

Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Ambivalen

Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Ambivalen

Belum sempat kita istirahat dari terkaget-kaget dengan adanya pertimbangan Mahkamah Konstitusi tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang secara garis besar melarang asas retroaktif dalam UU tentang KPK yang sebenarnya tidak perlu dimasukkan dalam pertimbangan karena tidak diminta oleh Pemohon, ditambah lagi dengan adanya UU PEMDA yang ditinjau dari putusan ambivalen maka kitapun akan lebih terkejut lagi tentang putusan MK mengenai Kamar Dagang dan Industri yang secara mengejutkan dengan kasus ini MK menjudicial review UU tentang MK sendiri sehingga MK menyatakan bahwa pasal 50 tentang kewenangan MK bertentangan dengan UUD.

Mahkamah Konstitusi yang didirikan pada tanggal 13 Agustus 2003[1] yang berdiri atas dasar pasal 7B, pasal 24 ayat (1) dan pasal 24 ayat (2) UUD 1945 perubahan ketiga, telah melahirkan pelbagai putusan yang diantaranya menyangkut : 1. Pengujian undang-undang terhadap UUD, 2. sengketa lembaga negara, 3. Pembubaran partai politik, 4. Perselisihan hasil Pemilu dan sebuah kewajiban memutus pendapat DPR dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wapres

MK pada awal mulanya sangat konsisten untuk menjalankan kewenangannya dengan dasar prospective (bersifat kedepan) dan bukan retroactive (bersifat kebelakang), sehingga kalau dikaitkan dengan kewenangan ini maka secara tidak konsisten MK menerapkan asas non retroaktive. Seharusnya jika MK konsisten maka MK tidak bisa menjudicial review pasal 50 UU Nomor 24 tahun 2003. Ada beberapa putusan yang dapat kita ambil kesimpulan tentang ketidakpastian pendirian Mahkamah Konstitusi

Dapat kita telaah dari putusan MK Nomor 069/PUU-II/2004 mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi[2], secara mengejutkan MK menambahkan dalam pertimbangan hukumnya tentang asas retroaktive padahal hal tersebut tidak diminta dalam gugatan, dan hal ini menimbullkan pro kontra yang meluas dari pelbagai kalangan, dengan alasan inipula banyak pengacara-pengacara kasus korupsi menyatakan berbagai dakwaan korupsi yang disidang tidak bisa dilanjutkan karena UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK hanya berlaku semenjak diundangkan sehingga kasus-kasus sebelum itu tidak bisa diajukan ke pengadilan.

Sedangkan dari kasus pilkada sangat terlihat sekali putusan MK yang ambivalen, dengan menyatakan bahwa Pilkada tidak termasuk pemilu dalam pasal 22E akan tetapi termasuk kedalam pasal 18 UUD 1945, walaupun ada sebagian tentang bentuk peratanggungjawaban yang menjadikan KPUD menjadi lembaga independen, sedangkan di dalam pertimbangan hukumnya MK berharap nantinya penyelenggara pemilu adalah KPU, pertimbangan ini membuat MK seakan-akan hendak menyatakan bahwa yang gugatan dari KPUD dan 5 LSM pemantau adalah benar akan tetapi dapat diwujudkan nanti. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang independen atau tidaknya Mahkamah Konstitusi dalam membuat putusan ataukah ada hal-hal lain yang membuat keindependen ini bergeser.

Dan yang peling mengejutkan ketika MK dengan adanya kasus gugatan dari KADIN UKM yang mengajukan judicial review mengenai UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan pasal UU No 1 tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri. Dan dengan gugatan tersebut MK memperluas kewenangannya (meminjam istilah dari Albert Hasibuan) menjadi sangat luas. Pasal 50 UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi membatasi kewenangan judicial review MK “Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, jadi MK hanya boleh menjudicial review sesudah UU tentang MK diundangkan. Akibat dari penghapusan pasal 50 maka MK bisa menjudicial review seluruh UU yang dilahirkan sebelum perubahan UUD 1945.

Ada hal yang menarik tentang dissenting opinion dari Achmad Rustandi yang menyatakan secara etika maka MK tidak bisa menjudicial review UU tentang Mahakamah Konstitusi itu sendiri, Achmad Rustandi mengambil kesimpulan ini dengan memeperbandingkan dengan hakim dalam perkara umum, perdata/pidana yang secara norma persidangan harus mengundurkan diri jika kasus yang akan ditangani berkaitan atau berhubungan dengan dirinya, dan hal ini menurutnya sama sekali bukan berarti meragukan imparsialitas dan integritas pribadi para hakim, melainkan merupakan kepatutan yang telah diakui secara universal (Achmad Roestandi)[3]. Jadi menurut salah seorang hakim MK sendiri secara sadar telah melanggar norma persidangan dan ditambah dengan adanya pendapat Natabaya yang menyatakan dalam dissentingnya bahwa jika MK menerima permohonan judicial review ini maka MK berarti telah menanggalkan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar melalui pembentuk undang-undang (wetgever)[4].

Menurut Laica Marzuki MK jika menerima permnohonan ini maka berarti MK telah melucuti kewenangan formeel recht yang diberikan de wetgever(pembentuk undang-undang) pada dirinya. Padahal formeel recht dibuat guna menegakkan kaidah hukum materiil[5]. Dari 3 pendapat Hakim Konstitusi tersebut dapat kita ambil bahwa secara hukum MK telah melampaui kewenangannya dengan menghapus pasal 50 UU No 24 tahun 2003.

Mengutip dari Lord Acton yang seringkali dipakai untuk menggambarkan kekuasaan “ Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” maka gambaran MK pada saat ini adalah lembaga yang super yang bisa membatalkan pasal dalam UU pembetukannya sendiri. MK dengan putusannya telah mengambil kewenangan legislatif (legislative review) menjadi kewenangan MK, jika hal ini tidak ada yang mengontrolnya maka MK akan masuk dalam kategori lembaga yang dikatakan oleh Lord Acton, sehingga sangat berbahaya bagi MK dan bagi demokrasi itu sendiri, walaupun penulis percaya pribadi-pribadi dalam MK adalah pribadi mulia yang bercita-cita menegakkan hukum dinegara tercinta.

Tidak ada lembaga menurut UUD yang bisa mengontrol MK terkecuali MPR melalui UUD, sudah saatnya lembaga MPR berfikir secara konstruktif untuk membatasi kewenangan MK karena siapa tahu disuatu saat nanti MK tidak bisa menjaga kedemokratisannya dan kemuliannya. Karena secara logis MK pada saat ini adalah lembaga peradilan yang demokratis jika dilihat dari dissenting opinion dan birokrasi yang mudah. Viat Justicia Constitution!

Muhammad Mova Al Afghani lawyer at Lubis Ganie Surowidjojo

Rahmat Bagja, former researcher at PSHTN UI and now work at Widjojanto, Sonhadji & Associates



[1] Mahkamah Konstitusi, Menjaga Denyut Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta 2004

[3] dissenting opinion Achmad Roestandi, Putusan MK No 066/PUU-II/2004

[4] Natabaya, ibid

[5] Laica Marzuki, ibid

Tidak ada komentar: